Fiksi

-65- From Iran to Damaskus [Edisi Persia dan Nyanyian Sumbang Si Gadis Patah Hati]

Thursday, July 12, 2012


Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?1

      Pagi menjelang, namun matahari tak juga tersenyum merekahkan panasnya. Langit yang kusaksikan masih sama, gelap bercampur pekat. Sejauh mata ini memandang, kota yang terletak di kaki pegunungan Alborz kali ini menampilkan suguhan gumpalan tipis lembut selayaknya musim semi yang bertaburan bunga. Dari balik jendela yang kini telah terbuka tanpa tirai biru, hawa dingin menelusuk. Sementara lamat mata yang tak ingin meredup terus menyaksikan bagaimana gumpalan tipis putih bagai jatuhan kapas terus turun, perlahan lalu menempel di sela-sela jendela, menelusuk seolah hendak memeluk aspal, bergelayut manja di atas pepohonan ranggas tanpa putik daun. Saya hampir tidak memercayainya, ini benar-benar salju timur tengah. Salju putih yang terus menerus mencandai rerumputan, tanah dan bahkan dengan gembira menyepuh kota Teheran, ibu kota Iran ini menjadi serba putih. 

        Segera saja saya merapikan buku-buku yang masih berserakan dan menutup buku panduan bahasa Iran yang sedari tadi saya baca. Hindun masih sibuk membereskan sisa makanan hasil racikannya. Sementara Amer, pemuda tanggung berumur dua puluh tahunan setelah mengerek sebuah tali penutup tirai jendela, dengan gaya khas layaknya seorang pemandu acara pentas seni agar saya bisa lebih leluasa melihat pemandangan menakjubkan Teheran di pagi harinya yang beku, kini turut sibuk pula bersama Hindun. 

"Hari ini kami akan memasakkan makanan khas Iran khusus untukmu, say", Hindun mengerdipkan mata dengan manja ke arah saya sambil terus mengadon. 
"Tapi kali ini di kasih bumbu kan? tidak cuma dengan garam?"

"Ha ha ha (Hindun dan Amer menertawakan saya dengan puas), oh tentu saja, bungkusan kecil ini akan sangat membantu", Amer mengangkat bungkusan kecil berbentuk kotak yang jauh-jauh saya bawa dari Indonesia demi memenuhi hasrat Hindun akan sambel pecel khas buatan bude yang katanya top markotop tiada duanya. 

         Masakan Iran memang terkenal dengan sahajanya, kalau tidak ingin dibilang 'pelit bumbu'. Beberapa hari yang lalu Hindun mengajak saya makan sate kambing Iran. Sate kambing Iran hampir mirip dengan sate di Indonesia. Bedanya, daging sate ditusuk dengan tusukan yang terbuat dari besi yang sangat panjang. Saya mengira akan mendapatkan bumbu renyah yang spesial mengundang lapar, tapi ternyata sate Iran hanya cukup dibumbui garam lalu dimakan. Itu saja, tidak ada bawang, acar, kecap, bumbu kacang yang yummy. Saya yang terbiasa mempersiapkan bumbu-bumbuan dari bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, serai, merica bubuk, pala, lombok, tomat, jeruk nipis dan banyak lagi sebelum memasak, sempat berfikir betapa menyenangkannya memasak di Iran, hanya butuh garam saja, selesai. 

      Pagi ini, Hindun dan Amer, sepasang adik-kakak ini membuatkan saya Nun Lavos, sejenis roti yang dipanggang berbentuk tipis dan renyah. Roti ini dimakan bersama telur rebus, keju segar dan mentega serta yogurt yang asam, kesemuanya diletakkan di atas Nun kemudian digulung. Nun Lavos kali ini dimakan bersama minuman tradisional yang disebut 'Dugh', lagi-lagi juga terbuat dari yogurt asam yang dicairkan dicampur dengan garam dan racikan rempah sayuran yang dikeringkan. Rasanya, hmmm ... gurih, asam, segar dan aneh di lidah saya. Pagi kemarin, Hindun juga sempat membuatkan saya kebab, makanan kebangsaan Iran. Kebab yang dibuat dari daging ayam yang hanya dilumuri sedikit garam, ditambah putik bunga saffron dengan aroma khas, ditambah sedikit jeruk nipis lalu dibakar. Kebab ini dimakan bersama nasi Iran yang harum. Rasanya? masih sama anehnya dengan yang saya makan hari ini. Barangkali butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan masakan Iran. 

          Setelah sarapan usai, kami berencana bermain ski di Dizin, dekat pegunungan Albroz, sekitar 1 jam menggunakan mobil dari Teheran. Di tengah perjalanan, sembari mengisi waktu dengan melihat pemandangan sekeliling, tak kuasa rasanya jemari ini menahan godaan untuk kembali menari di atas kertas, menciptakan goresan yang beradu dengan deru deram mobil, menuliskan kata-kata yang rupanya telah berdesak-desak dalam otak,
Duhai, seandainya agama itu berada pada gugusan bintang yang bernama Tsurayya, niscaya salah seorang dari Persia atau dari putera-putera Persia akan pergi kesana untuk  mendapatkannya2. Itulah awal mula aku menyaksikan kebesaran Persia dari mulut Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan yang Kau Kasihi. Juga sabdaMu, tentang kecaman terhadap bangsa Persia yang abadi dalam suroh Ar-Ruum yang berarti Romawi. Sejak itu, Persia negeri asal Salman Al-Farisi, negeri asal syair-syair Rubayyat Omar Khayam, negeri asal syair-syair sufi Jalaluddin Rumi, negeri asal legenda Cyrus The Great kaisar Persia terbesar yang pernah menguasai Asia Tengah hingga Yunani menjadi negeri yang ingin aku singgahi. Persia, kini aku berada di hadapanmu ...
"Dulu aku sempat  menjadi liberal, juga sedikit feminis. Bahkan aku sempat merasa tidak memerlukan bantuan lelaki. Ku rasa, aku merasa lebih nyaman tanpa kehadiran pria, toh aku bisa melakukan apa saja, S-E-N-D-I-R-I", tersendat Hindun memulai percakapan. 

Hindun, gadis muda yang telah lama saya kenal sejak di Indonesia ini, gadis yang hampir terkubur bersama jamuan cinta yang memabukkan. Bahkan mungkin bisa membuatnya lebih gila dibanding Qois yang dijuluki 'Majnun'. Hindun bisa saja mendapatkan gelar 'Majnun ala majnun', gila di atas gila. 

"Dinginnya gunung es tidak akan bertahan lama. Setidaknya, akan terbit fajar dengan panasnya mentari yang akan mencairkan kebekuan. Namun, jika hati yang telah membeku, siapakah yang sanggup mencairkannya?"

Belum sempat saya menyanggah kalimatnya, Hindun cepat-cepat melanjutkan pernyataannya,

"Terimakasih, telah mengenalkan aku kembali pada Al-Qur'an. Kini, aku sedang berusaha meluruskan mereka yang berlabel Islam namun hanya mengambil sebagian dari isi Al-Qur'an"

"Sama-sama. Ngomong-ngomong jadi dulu ketika kita kenal di Indonesia, kamu masih liberal ya?"

"Iya. Padahal aku berpakaian paling islami dari mereka yang islam. Crazy bukan?". Kami tertawa bersamaan mengingat masa itu, dan mengingat penampilan Hindun dengan burqoh hitamnya yang tentu saja asing di tengah kebiasaan berpakaian muslimah Indonesia. 

"Jadi, sekarang sudah sadar nih ceritanya? jadi kapan mau nikah, ingat-ingat umur sudah mau kepala tiga"

"Huum. Tapi ku rasa aku belum ingin memikirkan itu. Studiku belum usai". 

"Ha?"

"Aku cuma bercanda". Kami kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Sambil mendendangkan lagu Saujana yang dulu kerap kami putar bersama saat di Indonesia. 

Kau tidak seperti dulu 
Yang ku kenali dulu
Rupa hilang seri
Manakah manisnya

Kau tidak seperti dulu 
Yang ku kenali dulu
Madah tak berlagu
Manakah kiranya
Patah Hati!
Jangan terdampar sepi
Jangan Tersungkur mati

Patah Hati!
Jangan leburkan mimpi
Jangan memakan diri




Tidak percaya jika kisah ini jadi kemana-mana dan panjang, he he. Awalnya hanya ingin menuliskan tentang Iran dan Damaskus saja, ini adalah edisi ketiga dari dua edisi sebelumnya. From Iran to Damaskus Edisi Tong Berjalan di Jerman dan From Iran to Damaskus Edisi Borneo Rasa Swiss. 



Kegilaan saya akan mengelilingi dunia menelurkan kisah berseri 'From Iran to Damaskus', ini adalah perjalanan fantasi saya bersama buku-buku atau referensi lain yang sedang saya baca. Saya mencoba menceritakan kembali apa yang saya baca dengan versi saya sekaligus ingin menunjukkan bahwa buku adalah 'jendela dunia'.
Ket: 1. Salah satu syair Rumi
       2. Hadits riwayat Abu Hurairah, Shahih Muslim: no 4618)

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar