Wisata

-75- The Imperium Of Gowa, Makassar Part 2

Friday, September 28, 2012

Bismillahirrahmanirrahim, 

Banyak tulisan saya yang mangkrak, tak kunjung terselesaikan. Salah satunya ya tulisan ini. Ini adalah lanjutan catatan perjalanan saat kami ke Makassar bulan lalu setelah catatan saya yang pertama.

Dua hari menjelang kepulangan kami dari Makassar, tepatnya tanggal 13 Agustus 2012, alhamdulillah kami berkesempatan berkunjung ke Kabupaten Gowa. Kami sempat maju-mundur untuk pergi kesana, sebab dari informasi yang kami peroleh jarak Gowa cukup jauh dari Makassar.  Akan tetapi, daya pikat Kesultanan Gowa yang dahulunya merupakan salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan membuat kami sengaja berangkat pagi-pagi sekali (tidak pagi juga sih, sekitar jam 7 pagi) menuju kesana. Untuk sampai ke Gowa, perlu dua kali berganti pete-pete, kemudian dilanjutkan dengan menaiki bentor. Seharusnya, menurut perkiraan saya, tidak perlu menaiki bentor sebab di depan Istana saya melihat cukup banyak lalu lalang pete-pete. Tapi kami yang sudah terlanjur ngefans berat dengan slogan  JK 'Semakin Sesat Semakin Baik' itu, semakin merasa tertantang kalau salah arah, he he. 

4. Istana Raja Gowa (Museum Balla Lompoa)
Museum Balla Lampoa, tampak depan
Saya selalu bersemangat saat mengunjungi museum. Menyaksikan sejarah kehidupan masa lampau dan mengambil pelajaran darinya sangat menyenangkan bagi saya. Jadi bisa ditebak, sesampainya di kompleks Istana Raja Gowa, meski pintu museum masih dalam kondisi terkunci dan bahkan belum ada tanda-tanda geliat kehidupan di tempat ini karena kedatangan kami yang terlampau pagi, saya tetap merasa senang.


Museum Balla Lompoa, dari dekat. Itu sandal milik penjaga museum
Istana Raja Gowa yang kini menjadi Museum ini berdasarkan catatan sejarah berdiri pada tahun 1800-an. Bangunan tua ini secara kasat mata sudah terlihat banyak mengalami kerusakan dan terlihat tidak terlalu luas sebagaimana bayangan melekat saya yang sudah terlanjur tercekcoki dengan gambaran istana dengan kastil tinggi dan besar. Namun begitu, anggapan tersebut musnah begitu memasuki ruangan istana melalui tangga berundak yang ada di depan. Ternyata, meski terlihat mungil, ruangan di dalam cukup luas, kayu-kayu yang menjadi bahan baku utama istana ini juga masih terasa kokoh dan kuat.

Tana Tamalate, semacam gedung serbaguna yang terletak di samping museum
Ibu saya dulu suka rewel tentang bagaimana menghormati tetangga. Suatu waktu, ibu pernah mengingatkan saya saat lupa memanggil seorang tetangga dengan panggilan Puang (gelar bangsawan bugis). Kata ibu, saya tidak boleh mengulanginya lagi, sebab takut membuat tetangga kami menjadi tidak berkenan. Begitupun, untuk orang-orang yang telah berhaji, seperti ada 'hitam di atas putih' untuk memanggil mereka dengan sebutan 'Haji' mengiringi nama panggilan. Sangat mudah mengenali masyarakat bugis yang sudah berhaji, kita bisa melihatnya cukup dari cara berpakaian mereka. Pakaian haji merupakan simbol yang konon harus senantiasa dikenakan pada acara-acara resmi, jika tidak itu sama halnya dengan menodai status kehajian. Itu hanya sebagian kecil dari budaya pakaian masyarakat Bugis. Didalam Museum kita akan lebih banyak menyaksikan macam-macam pakaian tradisional masyarakat Sulawesi Selatan.
Baju Bodo
Salah satu pakaian adat yang menarik perhatian saya adalah Baju Bodo ini. Saya mengenalnya sejak saya masih SMP, karena kebetulan saya diminta menjadi pager ayu ketika seorang tetangga kami menggelar hajatan. Nah, saat itu kami semua dipakaikan Baju Bodo. Ketika saya pertama kali mendengarnya, saya mengira ejaannya adalah bodoh (lawan pintar), sehingga kesan pertama di benak saya adalah saya akan terlihat bodoh jika menggunakan pakaian ini. Ternyata tidak demikian, Bodo yang merupakan pakaian adat Bugis Makassar ini bermakna pendek. Pakaian ini memang berlengan pendek, jenis kainnya transparan dengan warna-warna terang seperti kuning, hijau, ungu atau merah.  Bawahan pakaian menggunakan sarung seperti tampak pada gambar.

Baju Bodo ini konon juga merupakan busana tertua di dunia. Pada zaman dahulu, pemakaian Baju Bodo menunjukkan usia dan martabat pemakainya. Seperti pada gambar di atas misalnya:

  • Baju Bodo warna orange disebut 'Baju Palla-palla' dipakai oleh anak perempuan sampai berumur 10 tahun
  • Baju Bodo warna jingga dan merah darah dipakai oleh anak perempuan dari umur 10-14 tahun disebut 'Baju Tawang'. Bila sudah mencapai umur 14-17 tahun memakai Baju Bodo Tawang berlapis dua karena sudah mulai ada buah dada.
  • Baju Bodo warna merah darah dipakai bersusun pada umur 17-25 tahun.
  • Baju Bodo warna hitam dipakai oleh perempuan berumur 25-40 tahun.
  • Baju Bodo warna putih dipakai oleh dukun atau inang pengasuh raja-raja
  • Baju Bodo warna hijau dipakai oleh puteri-puteri bangsawan
  • Baju Bodo warna ungu dipakai oleh janda.




Salah satu ruangan yang pas untuk mengambil gambar
Selain barang-barang peninggalan, Museum ini menyediakan berbagai pakaian adat Makassar untuk disewakan. Pengunjung bisa menyewanya dengan harga Rp 30.000 untuk satu baju. Kemudian mengambil pose di beberapa tempat. Jika kebetulan anda berasal dari tempat yang jauh, saya menyarankan untuk mencobanya, sebagai kenang-kenangan.
Tempat beberapa busana di sewakan sekaligus tempat mengambil foto
Kami pun mengambil beberapa pose di kursi yang mirip tempat pelaminan ini. Tapi sayang, kami tidak jadi menyewa busana, sebab uang sewanya sudah digunakan untuk membeli suvenir sekaligus satu buku kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati. Di buku yang tidak terlalu tebal itu, dikisahkan bahwa kisah mereka lebih romantis dibandingkan kisah cinta  Romeo&Juliet atau kisah cinta Laila&Majnun yang melegenda itu. Jadi, saya membelinya karena sangat penasaran dengan isinya. ^_^


5. Makam Syeikh Yusuf Al-Makassari


Terlihat seperti bukan makam
Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, kami nyasar dan tidak kesampaian mengunjungi Makam Syeikh Yusuf. Di tengah hari yang sangat amat panas, kami malah sampai di Syeikh Yusuf Discovery. Lihat sendiri bagaimana wujudnya. Mungkin akan ada yang bertanya-tanya (atau malah tidak) mengapa saya begitu ingin mendatangi Makam Syeikh Yusuf.



Syeikh Yusuf Al-Makassari adalah seorang ulama sekaligus pejuang yang terlahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 13 Juli 1627. Ibunya adalah seorang wanita keluarga Kerajaan Gowa Sultan Alauddin, sementara ayahnya bernama Abdullah. Meski ada yang mengatakan makam Syeikh Yusuf terdapat di 5 tempat termasuk di Afrika Selatan. Syeikh Yusuf mewarisi puluhan risalah. Sebagian besar karya yang ditulisnya adalah ilmu tasawuf dan tarekat. Meski demikian, tidak banyak yang membacanya. Bahkan menurut riwayat, naskah-naskah tersebut terlantar selama ratusan tahun dan belum diterjemahkan.
Saya sempat mengira ini makamnya (menghibur diri)


.







You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. Gerakan cinta museum...

    ternyata kekayaan buadaya dan peninggalan leluhur kita di negeri ini sangat kaya ya.. Bangunan2nya cantik-cantik dan unik. Makin menegaskan keragaman Indonesia yg walaupun berbeda tetapi tetap satu jua.

    ReplyDelete
  2. @Komunitas Tinta Emasiya, saya suka sekali berkunjung ke Museum. Karena menurut saya, museum itu seperti sejarah berjalan yang mini. Dan mungkin karena saya tipe pembelajar visual, jadi lebih pas mendatangi museum. :)

    ReplyDelete