Celoteh

-163- Dia Itu Beda

Tuesday, December 16, 2014

Bismillahirrohmanirrohim.

"Kamu lihat sendiri kan, diantara semua teman yang ku kenal, cuma dia saja yang lain"

"Lain bagaimana?"

"Ya... seperti itulah, macam kita tidak pernah berkawan saja. Urusan mau minta data saja, ribetnya ampun-ampun. Susah deh."

Antara mau mengiyakan dan mengelak, tapi memang begitu adanya. Kalau sudah berurusan dengan Ressy (bukan nama sebenarnya) ribetnya ampun-ampun (untung bukan teman sekantor). Orangnya kaku dan dingin. Jangan harap bisa leluasa berbincang dengan dia. Membuka percakapan dengannya, seperti sedang melempar bola pimpong ke tembok. Lempar-lempar sendiri, ambil bola yang jatuh sendiri. Saya sendiri ogah-ogahan kalau harus datang ke kantor Ressy berkaitan dengan data. 
-Alamak, alamat bakalan ribet, berminggu-minggu itu data belum tentu dapet-. 


Tapi, gimana ya, di luar urusan kedinasan, Ressy ini memang sahabat kami. Bisa dibilang dekat, tapi tidak juga. Mungkin karena masing-masing dari kami tanpa sadar cukup menjaga jarak. Bukan karena apa-apa, tapi seperti sahabat saya katakan itu, dia "lain". Ressy bukan tipe yang enak diajak ngobrol, bisa dibilang mengajaknya berbincang itu cukup menguras energi, itu karena Ressy tidak akan memulai pembicaraan jika tidak ditanya, dan jarang sekali bertanya balik. Ressy juga bukan tipe orang yang ramah, mudah cair dan enak dimintai tolong. Dia terlalu kaku, agak birokratik dan prosedural. 

Ini mengingatkan saya pada sikap dua orang dokter jaga di ruang UGD yang pernah saya temui. Dokter jaga pagi, saat saya datang, tanpa senyuman langsung bertanya apa masalahnya, kemudian menuliskan laporan, dan meminta saya menunggu hasil observasi. Sepanjang berada di ruangan, UGD, dokter bolak-balik melewati saya, -seolah para pasien tidak ada di situ- tidak bertanya apapun, sampai saya memulai bertanya lebih dahulu. Dokter jaga malam, yang mana waktu itu saya sudah terlampau gugup karena dalam sehari mengunjungi ruang UGD dua kali. Dengan senyuman penuh kehangatan, mempersilahkan saya duduk, bertanya dengan teliti,  mengajak saya berbincang, membesarkan hati saya, "tidak perlu khawatir Bu, kita opname saja dulu dan lihat bagaimana hasilnya". Benar saja, di malam itu, sikap kelembutan dan keramahan dokter jaga malam membuat saya merasa lebih dihargai, istilah tepatnya "lebih di wong ke", "lebih dimanusiakan", dan itu membuat saya jauh merasa lebih nyaman, tanpa khawatir sedikitpun tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Nah, Ressy ini, lebih mirip dengan dokter jaga pagi. Kalau saya ibaratkan dia seorang dokter yang sedang menangani pasien, 

"Aduh.. sakit dokter.."
jawaban Ressy ini kira-kira:

"Sakit ya? ya iyalah namanya juga melahirkan. Tahan sedikit, gak usah teriak-teriak berlebihan, nanti tambah sakit" dengan wajah datar khasnya -tanpa ekspresi-.  

Duh, dijamin bakalan tambah sakit rasanya. *pentung mana pentung? :). 
Tentu saja, ini hanya contoh, dan hanya perspektif "agak jahat" saya saja. Kenyataannya, tidak seperti itu juga lah ya...:). Pada akhirnya, dalam sebuah kesempatan, persepsi kami tentang Ressy berubah. Itu terjadi saat salah satu dari kami jatuh sakit dan harus terbaring lemah selama beberapa hari. Ressy adalah orang pertama yang datang menjenguk, datang berkunjung beberapa kali, dan sibuk memastikan kondisi terkini. Aura negatif yang selama ini terpatri dalam fikiran kami hanya karena urusan sederhana terkait pekerjaan dan urusan sederhana lainnya terkait bincang-berbincang rupanya telah begitu menyita dan menutup kebaikan-kebaikan yang telah kami terima dari Ressy selama ini. Sikapnya itu akhirnya menyentuh hati kami, menguatkan kembali ikatan persahabatan, yang mulanya hambar, menjadi lebih tulus dan dekat. 

Saya jadi ingat petuah dari kekasih saya yang seringkali diucapkannya pada saya, (maklum, manusia itu meski punya telinga, masih saja suka bebal, jadi harus diingatkan berulang kali), katanya:
"Jangan pernah memaksakan orang lain harus mengerti kamu. Tapi kamu yang harus mengerti orang lain, kamu yang harus menyesuaikan diri"

Iya, itu seringkali terlupakan, terabaikan. Baik sadar ataupun tidak, seringkali kita terkunkung dengan perasaan merasa diabaikan, merasa ingin dimengerti. Berharap orang lain mengerti dan memahami, tanpa sadar, seharusnya bukan begitu. Bisa jadi, dokter jaga pagi yang saya temui itu sedang banyak fikiran, maklum waktu itu pasien sedang banyak-banyaknya, bisa jadi saat saya mengajak Ressy berbincang, dia tidak punya bahan, dia pemalu atau dia memang sedang malas berbincang. Fikiran-fikiran positif yang kita bangun tentang orang lain akan sangat membantu kita senantiasa sehat dalam menjalin hubungan. Dan menjadikan hidup ini lebih damai, nyaris tanpa beban. Sebaliknya, fikiran negatif atau kesalahan kecil yang diperbuat orang lain hanya akan menghapus kenangan baik kita bersamanya, dan membuat kita hidup tanpa pernah merasa damai. Fikiran-fikiran seperti, “Kok dia begitu sih sama aku? Kalau ketemu gak pernah senyum.” “Memang begitu orangnya, pemarah dan pendendam”, “dia itu pasti gak akan mau kalau diajak jalan” itu kalau diteruskan bisa jadi boomerang terutama untuk hati kita, yang harusnya penuh kasih, penuh sayang. 

Hal ini juga mengingatkan saya, saat pernah begitu kesal pada seseorang, hanya karena ‘salah memahami sikapnya terhadap saya’, seharusnya tidak begitu, mungkin juga dia tidak bermaksud begitu, tapi saya menangkapnya begitu. Kekesalan saya itu membutakan mata saya, bahwa sebelumnya saya pun pernah tidak sengaja mengeluarkan perkataan yang kemudian saya tahu, bahwa itu menyakiti hatinya, sementara saya tidak pernah merasa begitu, juga tidak pernah merasa bermaksud mengeluarkan perkataan itu dengan tujuan begitu. Kelihatan ruwet ya? Iya, dan akhirnya jadinya begitu, salah tanggap yang berujung pada saling kesal, saling curiga dan itu memupus persahabatan. Pada saya, itu membuat saya lupa pada jasa-jasanya, yang memberi tumpangan tinggal saat pertama kali saya datang merantau ke tempat sejauh itu, menyambut saya dengan sangat gembira, dengan harapan baru akan terwujudnya persahabatan baru, membantu saya dalam banyak hal, dan banyak lagi. Lihat? Seharusnya saya tidak begitu, tidak memenuhi fikiran dengan prasangka yang bukan-bukan, cukup mencari alasan-alasan baik, kemudian memenuhi fikiran saya dengan fikiran yang positif dan baik. 

Mulai saat ini, saya kembali belajar, belajar mendamaikan hati. Belajar bahwa langkah terbaik untuk memulai hidup dengan damai adalah belajar memahami dan mengerti orang lain dengan baik, bukan memaksakan kehendak untuk kemudian berharap dimengerti, berharap dipahami oleh orang lain. Setiap manusia memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi lemah. Saya tidak boleh memaksa orang lain untuk bersikap persis sebaik seperti yang saya harapkan. Karena sebuah harapan itu pada akhirnya bisa jadi melampaui kenyataan yang bisa diberikan. Saya juga tidak boleh terlalu berfokus pada sisi lemah dari seseorang. Saya juga belajar tentang meraih kesuksesan. Jika ingin meraih kesuksesan, jangan pernah menggunakan parameter kesuksesan orang lain. Karena setiap orang itu berbeda, beda kemampuan, dan beda usahanya. Mampu mengalahkan orang lain sejatinya bukan kesuksesan, tetapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah kesuksesan sejati.

Hari ini, saya belajar lagi, bahwa memiliki pandangan positif tentang orang lain, tanpa tuntutan, prasangka dan harapan muluk-muluk benar-benar membuat dunia ini terasa berbeda, sejuk, damai, tenteram, nyaman, dan ringan. Meskipun, masalah akan selalu menyertai, gesekan, pertentangan, ataupun kesalahan-kesalahan kecil yang akan mengganggu jalannya sebuah hubungan. Seperti tempo hari, saat tetangga saya curhat berepisode (curhatan panjang dan hampir selalu tema ini yang dibicarakan saat bertemu saya),
“sudahlah, maklumi sajalah, Bu Tun itu memang begitu Bu… rada-rada, ndak genap otaknya…ini, ini, -sambil nunjuk lima rumah di sekitaran saya- semuanya itu mana ada yang suka sama Bu Tun. Jadi orang kok orang begitu…”
Nampaknya selalu saja akan ada kompor di setiap tempat. :) Dan selalu akan ada aura-aura negatif yang mengganggu. Saya tentu saja tidak mudah begitu saja termakan kata-kata, juga tidak berusaha menambah atau memihak siapapun, bisa tambah runyam perselisihan antar tetangga ini jadinya. Saya tetap berusaha mendamaikan keduanya, tapi yang pasti, saya tidak lagi menaruh harap terlalu tinggi pada sang ibu yang suka curhat berepisode itu, :) hidayah itu bisa datang kapan saja, dan dari sudut mana saja, bukan karena dipaksa. Saya, masih harus berusaha untuk itu, semoga konflik antar tetangga ini segera usai.

Hari ini saya belajar lagi, usai bertemu dengan dokter jaga malam itu, saya jadi belajar lagi, setelah memiliki cara pandang yang positif, hal lain yang harus dipelajari adalah belajar ramah, menyenangkan, banyak tersenyum dan berempati. Belajar menempatkan orang lain, bahwa menghormati diri sendiri adalah berarti menghormati orang lain juga. Belajar ‘memanusiakan’ manusia. Karena saat saya diperlakukan seperti itu, saya merasa nyaman, maka saya harus banyak belajar juga untuk dapat bersikap seperti itu, memberi rasa nyaman pada orang lain, terutama orang-orang terdekat yang senantiasa membersamai.

Tapi ya itu, memegah teguh nilai kebaikan seperti ini juga butuh konsisten, keistiqomahan. Perlu terus dilatih, diusahakan. Juga perlu orang lain untuk mengingatkan. Jadi benar ya, sebaik-baik orang yang beruntung adalah orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, saling mengingatkan dalam kebaikan, saling mengingatkan dalam kesabaran.

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12) 
  






You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar